Kenapa Muhammadiyah Menetapkan Puasa Memakai Hisab Bukan Rukyat

Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.

Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur’an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hil l artinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5 yang artinya:
yang artinya :
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.
Dan Hadits Nabi tentang ru’yah riwayat Bukhari.
Berpuasalah kalian apabila melihat bulan dan berbukalah kalian melihat bulan, dan bilamana        cuaca mendung maka genapkan puasa kalian selama 30 hari.

Memahami hadits tersebut secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru’yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru’yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’naartinya dapat dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya.  Sebaliknya dengan memahami bahwa hadis ru’yah itu ta’aquli ma’na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itu dapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an surah Annisa ayat 59 “Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amri minkum”. Muhammadiyah tidak melanggar  ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum. Wallahu a’lam


Salam dari blogger PNK -Tri Putera-

Template by:
Free Blog Templates