Cerpen Riki, S.S
”Apa yang kamu lakukan, Mas? Kau selalu menguping ke dinding tembok kamar dan berbicara sendiri,” teguran itu tiba-tiba datang dari arah pintu kamar.
”Sssut diam, ada suara di balik dinding tembok ini!” jawabnya dengan meletakan jari telunjuk tepat di depan bibirnya.
”Lagi-lagi suara, lagi-lagi suara. Tidak ada suara apa-apa di sana, kecuali suara serangga-serangga malam saja! Kau benar-benar sudah gila,” jelasnya dengan nada ketus.
”Aku sudah muak melihat tingkahmu. Telingamu sudah tidak waras.”
”Justru telingamu yang tidak waras,” jawabnya singkat.
”Mulai malam ini aku tidak akan tidur di kamarmu lagi, aku bisa gila.”
Sejak ultimatum istrinya untuk pisah kamar, Marjo memiliki keleluasaan untuk tenggelam bersama suara-suara malam dibalik dinding tembok kamar. Dia bebas melakukan monolog-monolog kecil, dengan gerakan tangan dan mimik muka sepertinya dia sedang asik menjalin komunikasi dengan suara-suara di balik dinding.
Terdengar oleh Marjo suara–suara dengan jelas. Dia membenamkan seluruh pendengarannya dan membiarkannya berbaur diantara suara-suara malam itu.
”Teng, teng, teng, teng!” suara bel.
Terdengar suara langkah sepatu bergesekan dengan lantai, bunyinya khas sekali.
”Srek, srek, srek, srek, srek!” suara itu berlomba-lomba masuk ke dalam ruangan. Terdengar pula suara-suara derik meja dan kursi yang diseret paksa, suaranya sangat mengganggu pendengaran telinga. Bisa dibayangkan, ruangan itu pasti kotor dan berantakan.
”Srek, srek, srek, srek, srek!” suara itu berlomba-lomba masuk ke dalam ruangan. Terdengar pula suara-suara derik meja dan kursi yang diseret paksa, suaranya sangat mengganggu pendengaran telinga. Bisa dibayangkan, ruangan itu pasti kotor dan berantakan.
Benar saja, tidak lama kemudian tiba-tiba terdengar suara bernada perintah.
”Bersihkan kelas ini! Kalian harus selalu menjaga kebersihan.”
”Marni, Lukman, Bejo kalian piket kali ini. Dan bagi yang bukan piket, silahkan tunggu di luar!” tegas suara itu kembali.
”Baik, pak.” jawab mereka singkat.
”Sebuah awal yang bagus, pembelajaran dimulai dengan intruksi pembersihan kelas. Dan setiap guru harus bertindak demikian sebelum jauh mempelajari hal-hal yang berbau teori. Mengajarkan kebersihan di sekolah, telah menumbuhkan kesadaran hidup bersih di masa depan dan itu jauh lebih penting,” ungkapnya dengan penuh keyakinan, seolah-olah dia berbicara di depan para murid.
Kepala Marjo tetap disenderkan ke dinding tembok dengan konsentrasi penuh mendengarkan suara murid-murid yang tengah membersihkan kelas. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara sangat keras.
”Gprak, gombrang!” Marjo terperanjat dari konsentrasinya.
”Suara apa itu? siapa di luar?” teriaknya dengan nada terkejut.
”Aku istrimu, Mas. Rupa-rupanya kau baru tersadar dari dunia malammu, ya. Berkali-kali aku lempar piring ke lantai, tapi kau tetap tenggelam dengan suara-suara di balik dinding itu.”
”Kamu tahu, suara keras yang terdengar tadi itu berasal dari dua piring terakhir yang kulempar!” teriak istrinya dengan nada marah.
”Besok, akan kulempar semua genting yang ada di atap kamarmu, supaya kau bisa sekalian pergi dan terbang dengan suara-suara khayalmu itu.”
”Kau telah merendahkan martabat suamimu sendiri, Rubi’ah!” teriak Marjo dari dalam kamar.
”Jenis martabat apa yang kau punya? Martabat khayalan yang tidak masuk akal itu. Oh, itukah martabat yang kau maksud?”
”Jangan sok tahu kalau kau tidak paham. Kau hanya tahu dunia rasa masakan saja; kau hanya bisa merasakan asin, manis, pedas, pahit dengan jilatan lidahmu. Sekedar itu, Rubi’ah!” jelas Marjo dari kamarnya.
”Ini dunia nyata dan terasa, bukan dunia khayal. Itu terlalu berlebihan! Kau itu hanya seorang murid jebolan Sekolah Alam yang tidak jelas kualitas nilai-nilai ijazahnya. Kau itu bukan siapa-siapa, Marjo!”
”Aku tidak membutuhkan nilai-nilai di atas secarik kertas, yang kubutuhkan adalah nilai-nilai memaknai hidup. Kualitas seseorang tidak bersembunyi di balik simbol angka-angka murahan seperti itu.”
”Ya aku tahu, kualitas itu bersembunyi di balik kepala botakmu! karena kau terlalu banyak memikirkan dunia khayal yang terlalu jauh di balik bintang-gemintang di langit ke tujuh,” jawab istrinya dengan nada kesal.
”Itu bukan dunia khayal! Sudah kuberitahu berkali-kali. Itu adalah dunia lain. Ingat sekali lagi, dunia lain! Cuma kau tidak memahaminya dengan baik.”
”Apa kau tidak menyadari ketika aku berdiam di kamar ini dan kau berdiam di kamar sebelah, itu sudah menandakan adanya perbedaan ruangan, keadaan, suasana dan seterusnya. Barangkali ketidak pahamanmu dalam memaknai itu disebabkan karena dinding keawamanmu saja yang terlalu tebal. Ini adalah contoh kecil, dan kau seharusnya paham dengan baik,” jawab Marjo.
”Wah, wah, benar-benar kau telah beralih ke alam bawah sadarmu, Marjo. Kamu sudah menjadi budak khayalmu. Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan.”
”Rubi’ah, Rubi’ah! Sudahlah, aku menyadari keawamanmu itu!”
”Lebih baik kau tidur saja segera, dan bermimpilah dengan nyaman. Semoga dalam mimpimu kau bertemu dengan sosok kearifan yang akan memahamkanmu tentang luasnya dunia!”
”Tanpa kau suruh pun, aku akan tidur. Lebih baik tidur dari pada banyak berkhayal seperti dirimu.”
”Jangan sok tahu, dan sekali lagi jangan katakan berhayal! Apakah kau tidak sadar ketika kau memejamkan mata dan tertidur lelap, ketika itu pula kau tengah berada di dunia mimpimu; itu adalah dunia lain! ”
”Suatu waktu, kau mungkin pernah bermimpi menjadi Cat Woman yang bisa melompat kesana kemari dengan ringannya. Atau, kau pernah menjadi Super Hero yang bisa menangkap desing peluru. Atau kau pernah menjadi sesuatu yang kau sendiri tidak memahaminya.”
”Kau tidak menyadari itu semua, Rubi’ah!”
”Ya ampun Tuhan Semesta Alam, kau benar-benar sudah tidak waras! Pikiran dan duniamu sudah sangat kacau,” jawabnya dengan nada keras.
”Hai! Jangan menyebut kata itu, kalau kau tidak paham!”
”Kata apa lagi, kurang ajar?”
”Kata Tuhan Semesta Alam. Apa kau paham tentang-Nya?”
”Ya, itu adalah Tuhan yang biasa kusembah dan kuimani!”
”Apakah kau tahu dimana Tuhan berada?”
”Pertanyaanmu sangat menyesatkan kesucian iman, Marjo!”
”Jangan kau ulangi lagi pertanyaan itu!”
”Pertanyaan semacam itu bisa menimbulkan kemusyrikan, kamu paham?”
”Ya aku sangat paham itu. Sebaliknya kau yang tidak paham, karena kau tidak meyakini adanya dunia lain.”
”Cukup Marjo! Aku katakan bahwa Tuhan itu ada dan aku beriman titik!”
”Jangan kau kaitkan semuanya dengan dunia lain, dan aku tidak mau tahu dengan itu semua!”
”Kau tetap keras kepala!” Rubi’ah.
”Jangan-jangan kau memahami Tuhanmu itu hanya sebuah nama yang terdiri dari kumpulan huruf-huruf, T – U – H – A – N. Sekedar itu!”
”Keimanan yang sempit dan keimanan yang harfiah!”
”Alasannya jelas, karena sampai saat ini kau tidak mau mengakui adanya dunia lain!”
”Apa katamu, apa hubungannya Tuhan dengan dunia lain? Kau terlalu gegabah memaknai Tuhan seperti itu.”
”Bukan itu maksudku. Tetapi, kau belum mengimani Tuhanmu dengan baik.”
”Rubi’ah, bukankah ayat yang diturunkan pertama kali oleh Tuhan itu berupa perintah membaca?”
”Membaca apa?”
”Membaca segala ciptaan-Nya. Tuhan Semesta Alam berarti penciptaan-penciptaan-Nya berupa dunia-dunia lain yang begitu luas.”
”Tuhan adalah pencipta, Semesta Alam adalah berupa Semesta Dunia. Semesta Dunia sama dengan dunia-dunia lain!”
”Dunia kecil sampai dunia besar,”
”Dunia lembut sampai dunia kasar,”
”Dunia terang sampai dunia gelap,”
”Dunia nyata sampai dunia hampa.”
”Dan dunia-dunia lain yang nampak ada dan tidak nampak ada.”
”Dunia lain, dunia lain, dunia lain, lagi-lagi dunia lain. Ada berapa jumlah dunia lain yang kau maksudkan dan apa yang harus kubaca dari dunia sebanyak itu?”
”Berupa pemahaman yang mendalam!”
”Jumlahnya tidak perlu dihitung, karena banyak sekali. Sedikit dan banyaknya dunia lain yang kau temukan, itu sangat tergantung seberapa jauh kau bisa meneropong dunia-dunia itu.”
”Dunia lain itu salah satunya ada dalam seekor ulat yang bersemedi dalam kepongpong, kemudian dia berubah menjadi kupu-kupu, dan setelah itu dia bisa terbang ke udara. Pernahkah kau berpikir darimana sayap-sayap itu dibentuk; dari sekedar ulat yang merayap, hingga ia bisa terbang?”
”Dunia lain juga bisa berupa air mata yang mengalir dari matamu sendiri, sementara kau tidak pernah sadar darimana air itu dikirim. Bukankah kau tidak pernah membuat MOU dengan perusahaan air minum manapun, untuk mengalirkan air dengan selang-selang ke arah matamu, sehingga matamu mengeluarkan air dalam sekian detik tatkala menangis. Seperti itulah?”
”Kau benar-benar sudah offside, Marjo.”
”Dunia lain juga ada dalam bawang dan cabai, Rubi’ah!”
”Apa maksudmu dengan bawang dan cabai?”
”Tetapi ini sama sekali bukan urusan bumbu dapur.”
”Kau pasti tahu kedua jenis sayuran itu tumbuh sama-sama dari tanah, tetapi mereka memiliki aroma dan rasa yang jauh berbeda!”
”Pasti, disana ada dunia lain! Demikianlah Tuhanmu berfirman, meskipun pohon cabai dan bawang tumbuh berdampingan dan disiram dengan air yang sama, ternyata rasa dan aroma dua tumbuhan ini berbeda. Perbedaan yang terjadi bukan karena tanah dan air yang berbeda, melainkan oleh inti benihnya yang telah mengandung perintah-perintah genetika dari Tuhan.”
”Bersihkan kelas ini! Kalian harus selalu menjaga kebersihan.”
”Marni, Lukman, Bejo kalian piket kali ini. Dan bagi yang bukan piket, silahkan tunggu di luar!” tegas suara itu kembali.
”Baik, pak.” jawab mereka singkat.
”Sebuah awal yang bagus, pembelajaran dimulai dengan intruksi pembersihan kelas. Dan setiap guru harus bertindak demikian sebelum jauh mempelajari hal-hal yang berbau teori. Mengajarkan kebersihan di sekolah, telah menumbuhkan kesadaran hidup bersih di masa depan dan itu jauh lebih penting,” ungkapnya dengan penuh keyakinan, seolah-olah dia berbicara di depan para murid.
Kepala Marjo tetap disenderkan ke dinding tembok dengan konsentrasi penuh mendengarkan suara murid-murid yang tengah membersihkan kelas. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara sangat keras.
”Gprak, gombrang!” Marjo terperanjat dari konsentrasinya.
”Suara apa itu? siapa di luar?” teriaknya dengan nada terkejut.
”Aku istrimu, Mas. Rupa-rupanya kau baru tersadar dari dunia malammu, ya. Berkali-kali aku lempar piring ke lantai, tapi kau tetap tenggelam dengan suara-suara di balik dinding itu.”
”Kamu tahu, suara keras yang terdengar tadi itu berasal dari dua piring terakhir yang kulempar!” teriak istrinya dengan nada marah.
”Besok, akan kulempar semua genting yang ada di atap kamarmu, supaya kau bisa sekalian pergi dan terbang dengan suara-suara khayalmu itu.”
”Kau telah merendahkan martabat suamimu sendiri, Rubi’ah!” teriak Marjo dari dalam kamar.
”Jenis martabat apa yang kau punya? Martabat khayalan yang tidak masuk akal itu. Oh, itukah martabat yang kau maksud?”
”Jangan sok tahu kalau kau tidak paham. Kau hanya tahu dunia rasa masakan saja; kau hanya bisa merasakan asin, manis, pedas, pahit dengan jilatan lidahmu. Sekedar itu, Rubi’ah!” jelas Marjo dari kamarnya.
”Ini dunia nyata dan terasa, bukan dunia khayal. Itu terlalu berlebihan! Kau itu hanya seorang murid jebolan Sekolah Alam yang tidak jelas kualitas nilai-nilai ijazahnya. Kau itu bukan siapa-siapa, Marjo!”
”Aku tidak membutuhkan nilai-nilai di atas secarik kertas, yang kubutuhkan adalah nilai-nilai memaknai hidup. Kualitas seseorang tidak bersembunyi di balik simbol angka-angka murahan seperti itu.”
”Ya aku tahu, kualitas itu bersembunyi di balik kepala botakmu! karena kau terlalu banyak memikirkan dunia khayal yang terlalu jauh di balik bintang-gemintang di langit ke tujuh,” jawab istrinya dengan nada kesal.
”Itu bukan dunia khayal! Sudah kuberitahu berkali-kali. Itu adalah dunia lain. Ingat sekali lagi, dunia lain! Cuma kau tidak memahaminya dengan baik.”
”Apa kau tidak menyadari ketika aku berdiam di kamar ini dan kau berdiam di kamar sebelah, itu sudah menandakan adanya perbedaan ruangan, keadaan, suasana dan seterusnya. Barangkali ketidak pahamanmu dalam memaknai itu disebabkan karena dinding keawamanmu saja yang terlalu tebal. Ini adalah contoh kecil, dan kau seharusnya paham dengan baik,” jawab Marjo.
”Wah, wah, benar-benar kau telah beralih ke alam bawah sadarmu, Marjo. Kamu sudah menjadi budak khayalmu. Aku tidak paham dengan apa yang kau katakan.”
”Rubi’ah, Rubi’ah! Sudahlah, aku menyadari keawamanmu itu!”
”Lebih baik kau tidur saja segera, dan bermimpilah dengan nyaman. Semoga dalam mimpimu kau bertemu dengan sosok kearifan yang akan memahamkanmu tentang luasnya dunia!”
”Tanpa kau suruh pun, aku akan tidur. Lebih baik tidur dari pada banyak berkhayal seperti dirimu.”
”Jangan sok tahu, dan sekali lagi jangan katakan berhayal! Apakah kau tidak sadar ketika kau memejamkan mata dan tertidur lelap, ketika itu pula kau tengah berada di dunia mimpimu; itu adalah dunia lain! ”
”Suatu waktu, kau mungkin pernah bermimpi menjadi Cat Woman yang bisa melompat kesana kemari dengan ringannya. Atau, kau pernah menjadi Super Hero yang bisa menangkap desing peluru. Atau kau pernah menjadi sesuatu yang kau sendiri tidak memahaminya.”
”Kau tidak menyadari itu semua, Rubi’ah!”
”Ya ampun Tuhan Semesta Alam, kau benar-benar sudah tidak waras! Pikiran dan duniamu sudah sangat kacau,” jawabnya dengan nada keras.
”Hai! Jangan menyebut kata itu, kalau kau tidak paham!”
”Kata apa lagi, kurang ajar?”
”Kata Tuhan Semesta Alam. Apa kau paham tentang-Nya?”
”Ya, itu adalah Tuhan yang biasa kusembah dan kuimani!”
”Apakah kau tahu dimana Tuhan berada?”
”Pertanyaanmu sangat menyesatkan kesucian iman, Marjo!”
”Jangan kau ulangi lagi pertanyaan itu!”
”Pertanyaan semacam itu bisa menimbulkan kemusyrikan, kamu paham?”
”Ya aku sangat paham itu. Sebaliknya kau yang tidak paham, karena kau tidak meyakini adanya dunia lain.”
”Cukup Marjo! Aku katakan bahwa Tuhan itu ada dan aku beriman titik!”
”Jangan kau kaitkan semuanya dengan dunia lain, dan aku tidak mau tahu dengan itu semua!”
”Kau tetap keras kepala!” Rubi’ah.
”Jangan-jangan kau memahami Tuhanmu itu hanya sebuah nama yang terdiri dari kumpulan huruf-huruf, T – U – H – A – N. Sekedar itu!”
”Keimanan yang sempit dan keimanan yang harfiah!”
”Alasannya jelas, karena sampai saat ini kau tidak mau mengakui adanya dunia lain!”
”Apa katamu, apa hubungannya Tuhan dengan dunia lain? Kau terlalu gegabah memaknai Tuhan seperti itu.”
”Bukan itu maksudku. Tetapi, kau belum mengimani Tuhanmu dengan baik.”
”Rubi’ah, bukankah ayat yang diturunkan pertama kali oleh Tuhan itu berupa perintah membaca?”
”Membaca apa?”
”Membaca segala ciptaan-Nya. Tuhan Semesta Alam berarti penciptaan-penciptaan-Nya berupa dunia-dunia lain yang begitu luas.”
”Tuhan adalah pencipta, Semesta Alam adalah berupa Semesta Dunia. Semesta Dunia sama dengan dunia-dunia lain!”
”Dunia kecil sampai dunia besar,”
”Dunia lembut sampai dunia kasar,”
”Dunia terang sampai dunia gelap,”
”Dunia nyata sampai dunia hampa.”
”Dan dunia-dunia lain yang nampak ada dan tidak nampak ada.”
”Dunia lain, dunia lain, dunia lain, lagi-lagi dunia lain. Ada berapa jumlah dunia lain yang kau maksudkan dan apa yang harus kubaca dari dunia sebanyak itu?”
”Berupa pemahaman yang mendalam!”
”Jumlahnya tidak perlu dihitung, karena banyak sekali. Sedikit dan banyaknya dunia lain yang kau temukan, itu sangat tergantung seberapa jauh kau bisa meneropong dunia-dunia itu.”
”Dunia lain itu salah satunya ada dalam seekor ulat yang bersemedi dalam kepongpong, kemudian dia berubah menjadi kupu-kupu, dan setelah itu dia bisa terbang ke udara. Pernahkah kau berpikir darimana sayap-sayap itu dibentuk; dari sekedar ulat yang merayap, hingga ia bisa terbang?”
”Dunia lain juga bisa berupa air mata yang mengalir dari matamu sendiri, sementara kau tidak pernah sadar darimana air itu dikirim. Bukankah kau tidak pernah membuat MOU dengan perusahaan air minum manapun, untuk mengalirkan air dengan selang-selang ke arah matamu, sehingga matamu mengeluarkan air dalam sekian detik tatkala menangis. Seperti itulah?”
”Kau benar-benar sudah offside, Marjo.”
”Dunia lain juga ada dalam bawang dan cabai, Rubi’ah!”
”Apa maksudmu dengan bawang dan cabai?”
”Tetapi ini sama sekali bukan urusan bumbu dapur.”
”Kau pasti tahu kedua jenis sayuran itu tumbuh sama-sama dari tanah, tetapi mereka memiliki aroma dan rasa yang jauh berbeda!”
”Pasti, disana ada dunia lain! Demikianlah Tuhanmu berfirman, meskipun pohon cabai dan bawang tumbuh berdampingan dan disiram dengan air yang sama, ternyata rasa dan aroma dua tumbuhan ini berbeda. Perbedaan yang terjadi bukan karena tanah dan air yang berbeda, melainkan oleh inti benihnya yang telah mengandung perintah-perintah genetika dari Tuhan.”
”Dan di Bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Ra’d (13:4)
”Semuanya itu bisa kau pahami dan kau akan menemukan sejatinya Tuhanmu.”
”Bacalah, bacalah luasnya dunia.”
”Bacalah! Masih banyak dunia lain yang tidak kau pahami.”
”Diam kau, Marjo!”
”Cukup, Marjo!”
”Aku cukup mengimaninya saja. Inilah kesucian iman,” tegas Rubi’ah.
”Kau telah keluar dari kesucian imanmu, karena kau telah merendahkan keagungan Tuhan dengan membendakan-Nya kedalam ulat, air mata, cabe dan bawang!”
”Kualitas imanmu tidak cukup bagus. Kalau iman itu dikelas-kelaskan, maka kelas imanmu masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Murid-murid Sekolah Dasar baru diperkenalkan pada dunia huruf-huruf dan angka-angka saja. Mereka belum diperkenlakan pada dunia yang lebih luas, yaitu dunia merangkai kalimat. Dengan sedikit kemampuannya, mereka belum mampu memasuki dunia yang lebih luas seperti dunia puisi, drama, essai, dan dunia-dunia simbol tulis lainnya. Murid-murid SD juga baru mengenal dunia bilangan yang sangat sederhana; 1+1=2, 0+1=1, dan setersunya. Mereka belum mengetahui dunia rumus-rumus matematika, fisika, kimia dan dunia-dunia rumusan lainnya yang begitu dalam dan luas.”
”Rubiah, keimananmu belum bisa meneropong dunia-dunia yang sangat kecil dan lembut. Mata keimananmu belum bisa menjadi mikroskop untuk mampu menemukan dunia-dunia yang begitu kecil, rumit, tetapi agung, dan mengagumkan. Kau hanya tahu dunia rasa masakan saja, yang terjangkau oleh jilatan lidahmu; garam + gula, asam + garam, atau lebih jauhnya resep masakan.”
”Marjo, aku ingin muntah mendengar semua ocehanmu.”
”Cukup Marjo, jangan kau teruskan ceramahmu yang sinting itu.”
”Marjo, kau telah keluar dari batas suci keimananmu!”
”Kembalilah kejalan Tuhanmu, sebelum adzab menimpamu!”
”Segeralah bertaubat!”
”Kau benar-benar keras kepala!”
”Kau sudah gila.”
”Bacalah asma-asma sifat Tuhanmu!”
”Kau benar-benar sudah gila.”
”Bacalah: ”bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang mencipta!”
”Kau sudah melampaui batas.”
”Bacalah: ”Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah!”
”Pergilah kau!”
”Bacalah: ”Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah!”
”Kau sudah mengancurkan kesucian iman, Marjo.”
”Dasar kau keras kepala!”
”Bacalah: ”Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang dia tidak diketahuinya.”
”Rubiah, bangunlah hari sudah siang.”
”Bangunlah kau dari tidur panjangmu!”
”Gprak, gprak, gpruk, gprak, gpruk!”
”Gprak, gprak, gpruk, gprak, gpruk!”
”Gombrang, gombrang, gprak, gpruk!”
”Apa yang sedang kau kerjakan tengah malam seperti ini, Rubi’ah?”
”Kenapa kau lempar semua genting dari atas kamar rumahmu?”
”Rubi’ah, Rubi’ah turunlah. Ada apa dengan dirimu.”
”Kau benar-benar sudah gila!”
Salah seorang tentangganya menyuruh Rubi’ah turun dari atap rumah.
”Bacalah, bacalah luasnya dunia.”
”Bacalah! Masih banyak dunia lain yang tidak kau pahami.”
”Diam kau, Marjo!”
”Cukup, Marjo!”
”Aku cukup mengimaninya saja. Inilah kesucian iman,” tegas Rubi’ah.
”Kau telah keluar dari kesucian imanmu, karena kau telah merendahkan keagungan Tuhan dengan membendakan-Nya kedalam ulat, air mata, cabe dan bawang!”
”Kualitas imanmu tidak cukup bagus. Kalau iman itu dikelas-kelaskan, maka kelas imanmu masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Murid-murid Sekolah Dasar baru diperkenalkan pada dunia huruf-huruf dan angka-angka saja. Mereka belum diperkenlakan pada dunia yang lebih luas, yaitu dunia merangkai kalimat. Dengan sedikit kemampuannya, mereka belum mampu memasuki dunia yang lebih luas seperti dunia puisi, drama, essai, dan dunia-dunia simbol tulis lainnya. Murid-murid SD juga baru mengenal dunia bilangan yang sangat sederhana; 1+1=2, 0+1=1, dan setersunya. Mereka belum mengetahui dunia rumus-rumus matematika, fisika, kimia dan dunia-dunia rumusan lainnya yang begitu dalam dan luas.”
”Rubiah, keimananmu belum bisa meneropong dunia-dunia yang sangat kecil dan lembut. Mata keimananmu belum bisa menjadi mikroskop untuk mampu menemukan dunia-dunia yang begitu kecil, rumit, tetapi agung, dan mengagumkan. Kau hanya tahu dunia rasa masakan saja, yang terjangkau oleh jilatan lidahmu; garam + gula, asam + garam, atau lebih jauhnya resep masakan.”
”Marjo, aku ingin muntah mendengar semua ocehanmu.”
”Cukup Marjo, jangan kau teruskan ceramahmu yang sinting itu.”
”Marjo, kau telah keluar dari batas suci keimananmu!”
”Kembalilah kejalan Tuhanmu, sebelum adzab menimpamu!”
”Segeralah bertaubat!”
”Kau benar-benar keras kepala!”
”Kau sudah gila.”
”Bacalah asma-asma sifat Tuhanmu!”
”Kau benar-benar sudah gila.”
”Bacalah: ”bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang mencipta!”
”Kau sudah melampaui batas.”
”Bacalah: ”Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah!”
”Pergilah kau!”
”Bacalah: ”Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah!”
”Kau sudah mengancurkan kesucian iman, Marjo.”
”Dasar kau keras kepala!”
”Bacalah: ”Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang dia tidak diketahuinya.”
”Rubiah, bangunlah hari sudah siang.”
”Bangunlah kau dari tidur panjangmu!”
”Gprak, gprak, gpruk, gprak, gpruk!”
”Gprak, gprak, gpruk, gprak, gpruk!”
”Gombrang, gombrang, gprak, gpruk!”
”Apa yang sedang kau kerjakan tengah malam seperti ini, Rubi’ah?”
”Kenapa kau lempar semua genting dari atas kamar rumahmu?”
”Rubi’ah, Rubi’ah turunlah. Ada apa dengan dirimu.”
”Kau benar-benar sudah gila!”
Salah seorang tentangganya menyuruh Rubi’ah turun dari atap rumah.
PROFIL PENULIS
Riki, S.SGuru SMAN 2 Kuningan Jawa Barat
Tempat Tinggal:
Dusundukuh Desa Dukuhdalem, Kecamatan Ciawigebang, Kab Kuningan